Selasa, 06 Desember 2011

Amar dan Nahy


A.     Pengertian dan Hakikat Amar
Menurut Ulama Ushul Fiqh, amar adalah suatu tuntutan atau perintah untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya[1].

B.      Sighat Amar dan Dilalahnya
Sighat yang digunakan untuk meminta sesuatu perbuatan agar dikerjakan, mencakupi :
1.       Bentuk fi’il amar
 “Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)

2.       Fi’il mudlari
(Ali ‘Imran : 104)
 “Dan janganlah kamu menyerupai orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.”
3.       Isim fi’il amar
(Al-Maidah : 105)
Wahai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah shalat (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah–jika kamu ragu-ragu: ” (Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa”.
4.       Mashdar pengganti fi’il
(Al-Baqarah : 83)
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): Kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya.
5.       Jumlah khabariyah / kalimat berita
(Al-Baqarah : 228)
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim
6.       Kata-kata yang mengandung makna suruh atau perintah, wajib, fardlu
6.1      kata
(an-Nisaa’ : 58)
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
6.2      kata
(Al Ahzab : 50)
6.3      kata
(Al-BAqarah : 183)
6.4      memberitahukan tentang adanya kewajiban dengan memakai kata ‘ala
(Ali Imran : 97)
6.5      jawab syarat
(Al-Baqarah : 196)

      Karena itu apabila Allah memerintahkan kepada hamba-hambanya untuk mengerjakan sesuatu perbuatan itu artinya menunjukkan kepada kewajiban mematuhi perintahNya. Kalau ia sudah mukallaf berarti mendapat pahala bila mengerjakan, namun mendapat siksa bila ia meninggalkannya.
Amar juga digunakan bagi makna yang lain yaitu untuk :
a.       Nadab, artinya menyuruh tanpa mewajibkan tetapi baik bila dikerjakan (sunat)
(An-Nur : 33)
b.      Irsyad, artinya memberi petunjuk atau bimbingan
(Al-Baqarah : 282)
c.       Takdib, artinya merujuk pada sopan santun
d.      Ibahah, artinya boleh dikerjakan atau tidak boleh dikerjakan
e.      Tahdid, artinya menghardik, mengancam
f.        Ikram, artinya memuliakan.
g.       Taskhir, artinya menghina, merendahkan derajat.
h.      Takjiz, artinya menunjukkan kelemahan yang diajak berbicara.
i.         Taswiyah, artinya menyamakan antara dikerjakan atau tidak dikerjakan.
j.        Tafwidl, artinya menyerahkan kepada pertimbangan sendiri.
k.       Takzib, artinya mendustakan
l.         Talhif, artinya membuat sedih dan merana
m.    Do’a, artinya memohon
n.      Iltimas, artinya sekedar permintaan biasa
o.      Imtinan, artinya menyatakan kenikmatan
p.      Takwin, artinya menciptakan
q.      Tamanni, artinya barangan-angan

C.      Kaidah-Kaidah yang  Berhubungan dengan Amar
Para Ushul Fiqh memberikan beberapa patokan dan ketentuan-ketentuan untuk menjadi pedoman dalam mengistimbathkan hokum.
1.       Perintah sesudah larangan
(Al-Jumu’ah : 10), sesudah firman Allah (Al-Jumu’ah : 9)
Bila larangan yang mendahului amar itu karena ada illat maka amar sesudahnya adalah untuk menghapuskan larangan itu karena illatnya sudah tidak ada lagi dan sekaligus mengembalikan hokum asli sebelum ada larangan yaitu ibadah. Bila larangan itu bukan karena illat yang sudah diketahui umum maka perintah sesudah larangan itu berarti menghapuskan hokum lama, artinya suruhan itu adalah keizinan berbuat tetapi tidak sampai wajib atau nadab.

2.       Perintah dan waktu mengerjakannya
Suruhan itu tidak harus segera dikerjakan dalam waktu yang cepat ataupun ditangguhkan. Semua itu dapat dipahami dengan adanya qarinah-qarinah yang lain. Adanya ajaran agar suatu kebaikan segera dilakukan, bukan ditarik dari perintah itu sendiri, tetapi dari dalil lain.
Menurut sebagian ulama, antara lain Abu al-Hasan al Karkhi, bahwa sesuatu perintah menunjukkan hokum wajib segera dilakukan. Menurut pendapat ini, barangsiapa yang tidak segera melakukan suatu perintah di awal waktunya, maka ia berdosa.
Contoh : (Al Hajj : 27)

3.       Perintah dan pengulangan mengerjakannya
Kalau perintah itu harus dikerjakan berulang-ulang maka harus ada qarinah yaitu kata-kata atau kalimat lain yang menyertakannya yang menunjuk kepada pengulangan. Ditinjau dari segi wajibnya berulang-ulang mengerjakan apa yang diperintahkan karena qarinah, dapat dikemukakan pendapat ulama, sebagai berikut :
a.       Perintah itu dihubungkan dengan syarat
(Al-Maidah : 6)
b.      Perintah itu dihubungkan dengan illat
(An-Nur : 2)
c.       Perintah itu dihubungkan dengan sifat atau keadaan yang berlaku sebagai illat
(Al-Isra’ : 78)
Dengan keterangan-keterangan di atas sebenarnya diwajibkan berulang-ulang mengerjakan perintah itu karena dihubungkan dengan sebab yang berulang-ulang pula. Inilah qarinah yang dikehendaki itu.
4.       Perintah dan perantaranya (wasilah)
Kadang-kadang ada perintah yang tag dapat terwujud tanpa adanya perbuatan-perbuatan lain yang mendahuluinya atau alat-alat tertentu untuk dapat melaksanakan perintah-perintah tersebut. Wasilah-wasilah itu bisa berupa :
a.       Syarat bersuci untuk sahnya shalat
b.      Adat kebiasaan

D.     Definisi dan Hakikat Nahy
Menurut ulama Ushul Fiqh, nahi adalah larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.[2]
E.      Penunjukan atau Tuntutan Nahy
Nahi menuntut untuk meninggalkan sesuatu perbuatan dengan kata yang didahului oleh kata larangan, yaitu : “la taf’ al”
Dalam Al Qur’an Nahi yang menggunakan kata larangan itu mengandung beberapa maksud :
a.       Haram
Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (Al-Isra’; 17; 33)
b.      Makruh Sabda Nabi
Di antara kamu sekalian jangan memegang kemaluannya dengan tangan  kanan ketika buang air kecil.
c.       Mendidik
Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, nisaya menyusahkan kamu. (Al-Maidah: 5: 101)
d.      Do’a
Ya Tuhan kami janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah Engkau memberi petunjuk kepada kami. (Ali ‘Imron: 3: 8)
e.      Merendahkan
Janganlah sekali-kali kamu menunjukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup ysng telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir). (Al-Hijr: 15: 88)
f.        Penjelasan akibat
Janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zhalim. (Ibrahim: 14: 42)
g.       Keputusan
Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. (Al-Tahrim: 66: 7)

F.        Kaidah-Kaidah yang Berhubungan dengan Nahy
Kaidah pertama, pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang itu kecuali ada indikasi yang menunjukkan hokum lain. Missal (Al-Jumu’ah : 9)
Larangan berjual beli dalam ayat tersebut menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh menunjukkan hokum makruh karena ada indikasi akan kekhawatiran akan melalaikan seseorang dari bersegera pergi shalat Jumat.
Kaidah kedua, suatu larangan menunjukkan fasad perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan. Larangan-larangan dalam hal-hal tersebut menunjukkan batalnya perbuatan-perbuatan itu bilamana tetap dilakukan. Ulama berbeda pendapat bilamana larangan itu tidak tertuju kepada esensi suatu perbuatan, tetapi kepada hal-hal yang berada di luarnya. Misalnya, larangan jual-beli waktu azan Jum’at dan larangan menyetubuhi istri yang sedang haid.
Kaidah ketiga, suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya. Missal Surat Luqman ayat 18 :
larangan tersebut mengajarkan agar berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan sopan.



DAFTAR PUSTAKA

Muchtar, Kamal. 1995. Ushul Fiqh jilid II. PT Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta.
Hanafie,A. 1962. Usul Fiqh.  Wijaya, Jakarta.
Rasyid, Marzuki.dkk. 1986. Ushul Fiqh II. Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Jakarta.
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Prenada Media, Jakarta.
Khalaf, Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Dina Utama, Semarang.


[1] Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.Zein,MA ,Ushul Fiqh hal.178
[2] Ibid., hlm.187

PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG


A.      PNDAHULUAN
            Pembentukan undang-undang merupakan suatu tahapan kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan. Proses ini diawali dari terbentuknya suatu idea atau gagasan tentag perlunya pengaturan terhadap suatu permasalahan, yang kemudian dilanjutkan dengan kegiatanmempersiapkan rancangan undang-undang baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat, oleh Dewan Perwakilan Daerah, maupun oleh Pemerintah, kemudian pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan bersama, dilanjutkan dengan pengesahan, dan diakhiri dengan pengundangan.
            Tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang berpedoman pada Instruksi Presiden No. 15 Th. 1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah. Sedangkan tata cara mempersiapkan rancanganundang-undang Usul Inisiatif DPR dan pembahasan kedua rancangan tersebut diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 03A/DPR RI/I/2001-2002.
            Dengan ditetapkanya Keputusan Presiden No. 188 Th. 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, yang ditetapkan pada tanggal 28 Oktober 1998, maka proses pembentukan undang-undang dilaksanakan dengan berpedoman pada keputusan Presiden.
            Dengan ketentuan Pasal 58 Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka sejak tanggal 1 November 2004 segala sesuatu tentang pembentukan peraturan perundang-undangan terikat dengan undang-undang tersebut.
            Berdasarkan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, suatu rancangan undang-undang dapat berasal dari beberapa pihak, yaitu :
1.      Dari Pemerintah (Presiden), berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945.
2.      Dari DPR, berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945.
3.      Dari Anggota DPR, berdasarkan Pasal 21 UUD 1945.
4.      Dari DPD berdasarkan Pasal 22D UUD 1945.
           



            Proses pembentukan Undang-Undang terdiri atas beberapa tahap, yaitu :
a.       Proses persiapkan pembentukan undang-undang, yang merupakan proses penyususan dan perancangan di lingkungan Pemerintah, di lingkingan DPR, atau dilingkingan DPD.
b.      Proses pembahasan di DPR
c.       Proses Pengesahan oleh Presiden
d.     Proses Pengundangan (oleh Mentri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan).
B.     PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
            Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Yaitu proses pembuatan undang-undang yang dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, penesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
1.      Perencanaan Penyusunan Undang-Undang
Menurut Pasal 15 dan 16 Undang-UndangnNo. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dilaksanakan sesuai dengan Program Legislasi Nasional, yang merupakan perencanaan penyusunan Undang-Undang yang disusun secara terpadu antara DPR dan Pemerintah Republik Indonesia.
Koordinasi penyusunan Program Legislasi Nasional (selanjutnya disebut Prolegnas) antara DPR dan pemerintah dilakukan melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi, sedangkan di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh Mentri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang peraturan perundang-undangan.
Tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegnas diatur dengan Peraturan Presiden  No. 61 Th. 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, yang ditetapkan pada tanggal 13 Oktober 2005.
2.      Persiapan Pembentukan Undang-Undang
Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari anggota DPR, Presiden, maupun DPD yang disusun secara Prolegnas.
3.      Pengajuan Rancangan Undang-Undang
Pengajuan rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, DPR, dan DPD diatur dalam Pasal 18 dan 19 Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yg menetapkan bahwa :
a.       Rancangan undang-undang yang diajuikan oleh Presiden disiapkan oleh Mentri atau Pimpinan Lembaga Pemerinyahan Non Departemen, sesuai dengan lingkup tugas dan tanggup jawabnya.
b.      Pengharmonisan, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh Mentri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.
c.       Tatacara mempersiapkanrancangan undang-undang dari Presiden selanjutnya diatur dengan peraturan Presiden
Pasal 19 :
a.      Rancangan undang-undang yang berasal dari DPR Diusulkan oleh DPR.
b.     Rancangan undang-undang yang berasal dari DPD dapat diajukan oleh DPD kepada DPR.
c.      Tata cara pengajuan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR dan DPD tersebut diatur lebih lanjut dengan PeraturanTtata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat dan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah.
Setelah rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden selesai disiapkan, maka sesuai dengan Pasal 20 Undang-Undang No.10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, rancangan undang-undang tersebut akan diajukan ke DPR dengan surat Presiden (dahulu amanat Presiden). Selanjutnya DPR akan membahas rancangan undang-undang dari Presiden tersebut dalam jangka waktu 60 hari sejak surat Presiden diterima oleh DPR.
Apabila rancangan undang-undang tersebut berasal  dari DPR, maka sesuian dengan ketentuan Pasal 21, rancangan undang-undang tersebut akan di sampaikan kepada Presiden dengan surat pimpinan DPR. Selanjutnya Presiden menugaskan mentri dan DPR untuk membahas rancangan undang-undang tersebut dalam jangka waktu selambat-lambaynya 60 hari sejak surat diterima oleh presiden.
Penyebarluasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh Sekretariat Jendral Dewan Perwakilan Rakyat, sesuai Pasal 22 ayat (1) undang-undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sebagai Negara yang mendasarkan pada Pancasila dan UUD Republik Indonesia Tahun 1945, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahharus senantiasa berdasarkan atas hukum. Untuk mewujudkan Negara hokum tersebut diperlukan tatanan yang tertib antara lain di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Selama ini terdapat berbagai macam ketentuan yang berkaitan dengan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan termasuk teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, diatur secara tumpang tindih baik peraturan yang berasal dari masa colonial maupun yang dibuat setelah Indonesia Merdeka, yaitu :
a.       Algemeene Bepalingen van Wetbeving voor Indonesia, yang disingkat AB (Stb. 1847:23) yang mengatur ketentuan-ketentuan umum peraturan perundang-undangan. Sepanjang mengenai pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ketentuan AB tersebut tidak lagi berlaku secara utuh kerena telah diatur dalam peraturan Perundang-undangan Nasional.
b.      UU No. 1 Tahun 1950 tentang Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. UU ini merupakan Undang-Undang dari Negara Bagian Republik Indonesia Yogyakarta.
c.       UU No. 2 Tahun 1950 tentang menetapkan Undang-Undang Darurat tentang Penertiban Lembaran Negara RIS dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Berlakunya Undang-Undang Federal dan Peraturan Pemerintah debagai Undang-Undang Federal.
d.      Selain Undang-Undang tersebut, terdapat pula ketentuan :
1)      Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1945 tentang Pengumuman dan Mulai Berlakunya Undang-Undang dan peraturan Pemerintah.
2)      Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 234 Tahun 1960 tentang Pengembalian Seksi Pengundangan Lembaran Negara dari Departemen Kehakiman ke Sekretariat Negara.
3)      Instruksi Presiden Repiblik Indonesia No. 15 Tahun 1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia.
4)      Keputusan Presiden Repiblik Indonesia No. 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang.
5)      Keputusan Presiden Repiblik Indonesia No. 44 tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan dan Bentuk Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Keputusan Presiden.
e.       Dilingkungan DPR dan DPRD, berlaku peraturan tata tertib yang mengatur antara lain mengenai tata cara pembahasan rancangan undang-undangdan rancangan peraturan daerah serta pengajuan dan pembahasan rancangan undang-undang dan peraturan daerah usul inisiatif DPR atau DPRD.
C.    PROSES PENYIAPAN  RANCANGAN UNDANG-UNDANG DARI PEMERINTAH
Proses penyiapan rancangan undang-undang yang berasal dari pemerintah saat ini dilakukan menurut Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005 tentang Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pemngganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden, yang ditetapkan pada tanggal 14 November 2005. Tat cara mempersiapkan undang-undang yang berasal dari Pemerintah dilakukan melalui tahapan sebagai berikut :
1.            Penyusunan Rancangan Undang-Undang
Menurut ketentuan Pasal 2 Peraturan Presiden No.68 Th. 2005, penyusunan rancangan undang-undang yang didasarkan Prolegnas tidak memerlukan persetujuan izin prakarsa dari presiden, dan secara berkala pemrakarsa melaporkan penyiapan dan penyusunan rancangan undang-undang tersebut kepada presiden.
Sedang menurut Pasal 3 ayat (1) Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005, Pemrakarsa dapat menyusun rancangan undang-undang di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada Presiden.
Dalam penyusunan rancangan undang-undang, Pemrakarsa dapat terlebih dahulu menyusun Naskah Akademik mengenai materi yang akan diatur dalam rancangan undang-undang, yang merumuskan antara lain tentang dasar filosofis, sosiologis, yuridis, pokok dan lingkup materi yang diatur. Pedoman penyusunan Naskah Akademik tersebut akan diatur dalam Peraturan Mentri (Pasal 5 Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005)
2.            Penyampaian Rancangan Undang-Undang kepada DPR
Rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh Presiden selanjutnya disampaikan  kepada DPR untuk dilakukan pembahasan (Pasal 25 Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005). Pada Pasal 26 Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005, Mentri Sekretaris Negara akan menyampaikan Surat Presiden kepada Pimpinan DPR untuk menyampaikan rancangan undang-undang disertai dengan Keterangan Pemerintahmengenai rancangn undang-undang tersebut.
Dalam pembahasan rancangan undang-undang di DPR mentri yang ditugaskan oleh Presiden wajib melaplorkan tentang perkembangan apakah rancangan undang-undang dapat persetujuan dari DPR atau tidak (Pasal 29 Peraturan Presiden N0. 68 Th. 2005).
D.    PROSES PENYIAPAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG DARI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
Proses penyampaian rancangan undang-undang yang berasal dari DPR dan DPD dilaksanakan berdasarkan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat, yang saat ini diatur dalam keputudan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 130, pengajuan rancangan undang-undang dari Dewan Perwakilan Rakyat. Terhadap rancangan undang-undang yang berasal dari DPR terdapat bebrapa pengaturan dalam Pasal 131, Pasal 132, dan Pasal 133.
Proses Penyiapan Rancangan Undang-Undang
Dari Dewan Perwakilan Rakyat















Usul inisiatif RUU dapat berasal dari : Sekurang-kurangnya 13 Anggota DPR RI atau Komisi, Gabungan Komisi atau Baleg
 


Dalam Rapat Paripurna, Ketua Rapat memberitahukan dan membagikan usul inisiatif RUU kepada para Anggota DPR
 








Pimpinan DPR menyampaikan RUU kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Mentri yang akan mewakili Presiden dalam Pembahasan RUU, dan kepada Pimpinan DPD jika RUU yang diajukan terkai dengan DPD
 



Rapat Paripurna memutuskan apakah usul RUUtersebut secara prinsip dapat diterima menjadi RUU usul dari DPR atau tidak Setelah diberikan kesempatan kepada Fraksi untuk memberikan pendapatnya
 













 














E.     PROSES PENYIAPAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG DARI DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Tata cara mempersiapkan dan pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPD di lingkungan DPD dilaksanakan menurut Keputusan Dewan Perwakilan Daerah No. 2/DPD/2004 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagaimana diubah dengan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia No. 29/DPD/2005 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, khususnya diatur dalam Pasal 123 sampai dengan Pasal 139 Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah, yang secara berturut-turut dapat diuraikan di bawah ini.
1.            Tingkat Pembicaraan
Pasal 123 Peraturan Tata Tertib DPD
(1)      Tingkat Pembicaraan
Dalam hal penyusunan dan pembahasan rancangan Undang-Undang dari DPD dilakukan dalam dua tingkatan pembicaraan yaitu pembicaraan Tingkat I dan Tingkat II
(2)      Pembicaraab Tingkat I
Rancangan Undang-Undang akan dilakukan :
a.    Inventarisasi materi.
b.   Penyusunan dan pembahasan Daftar Inventarisasi Masala (DIM).
c.    Penyusunan dan pembahasan naskah akademis dan RUU berdasarkan DIM dan inventarisasi materi.
d.   Uji sahih.
e.    Harmonisasi.
(3)      Pembicaraan Tingkat II
Yaitu pengambilan keputusan oleh siding Paripurna DPD yang didahului oleh laporan Alat Kelengkapan DPD mengenai hasil pembicaraan Tingkat I
2.            Prakarsa Penyusunan Usul Rancangan Undang-Undang
         Dalam ketentuan Pasal 127 Peraturan Tata Tertib DPD, Usul Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPD disusun berdasarkan tugas dan wewenangnya, selain itu Tancangan RUU dapat di ajukan juga oleh panitia Ad Hoc sedang Usul Pembentukan RUU dapat diajukan sekurang-kurangnya seperempat dari jumlah anggota DPD.
         Panitia Perancang Undang-Undang sebagai koordinator penyusunan rancangan Undang-Undang akan mengkoordinasikan dan mengkonsultasikan proses penanganan Usul Rancangan Undang-Undang atau Usul Pembentukan Rancangan Undang-Undang kepada Pimpinan DPD. Kemudian melakukan pembahasan, harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan tentang konsep tersebut, kemudian menyampaikan hasil pembahasan  secara tertulis kepada Pimpinan DPD, maka dalam sidang Paripurna DPD berikutnya Pimpinan Sidang akan memberitahukan dan membagikannya kepada seluruh anggota (Pasal 130 Peraturan Tata Tertib DPD).

3.            Pengajuan dan Pembahasan Rancangan Undang-Undang yang Berasal dari Dewan Perwakilan Daerah
Pengajuan dan pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPD diatur dalam Pasal 132 sampai dengan Pasal 135 Peraturan Tata Tertib DPD. Berdasarkan Pasal 132 Peraturan Tata Tertib DPD, RUU beserta penjelasan, keterangan, dan naskah akademis disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPRdan surat pengantar dari Pimpinan DPD, serta dikirim juga ke Presiden.
Selanjutnya DPD dan DPR melakukan pembahsan melalui suran undangan dari DPR (Pasal 133 Peraturan Tata Tertib DPD). Hasil pembahasan merupakan bahan pembahasan oleh DPR dan Pemerintah (Pasal 134 Peraturan Tata Tertib DPD).
Pada saat Pembahasan antara DPR dan Pemerintah, DPD  akan di undang untuk menyampaikan pandangannya mengenai RUU yang diusulkan.
Dalam Pasal 135 Peraturan Tata Tertib DPD, alat kelengkapan DPD yang ditugasi wajib menyampaikan laporan perkembangan pembahasan RUU secara berkala kepada seluruh anggota dan Pimpinan DPD.
4.               Pembahasan Rancangan Undang-Undang yang Berasal Dari Dewan Perwakilan Rakyat  atau Presiden di Dewan Perwakilan Daerah
Dalam Pasal 136 Peraturan Tata Tertib DPD, setelah RUU yang berasal dari DPR atau Pemerintah tersebut diterima oleh pimpinan DPD, maka dalam siding Paripurna DPD, Pimpinan DPD memberitahukan dan membagikan hasil dari pembahasan oleh DPR atau Pemerintah kepada seluruh anggota DPD. Selanjutnya DPD menugasakan Panitia Ad Hoc untuk membahas atau meyempurnakan RUU tersebut sebagai bahan dalam pembahasan  bersama DPR dan Pemerintah.
Peraturan Daerah adalah salah satu bentuk peraturan pelaksana undang-undang. Pada pokoknya, kewenangannya mengatur bersumber dari kewenangan yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Akan tetapi, dalam hal tertentu, peraturan daerah juga dapat mengatur sendiri hal-hal meskipun tidak didelegasikan secara eksplisit kewenangannya oleh undang-undang, tetapi dianggap perlu diatur oleh daerah untuk melaksanakan otonomi daerah yang seluas-luasnya sebagai mana dimaksud oleh pasal 18 ayat (3) dan (4) UUD 1945. Bahkan dalam peraturan daerah juga dapat dimuat mengenai ketentuan pedana seperti halnya dalam undang-undang. Dalam Pasal 14 UU No. 10 Tahun 2004 ditentukan, “Materi muatan mengenai kekuatan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
F.     PENGAJUAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG DARI DEWAN PERWAKILAN DAERAH KEPADA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
Dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di atur tentang rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah dalam Pasal 134.
G.    PROSES PEMBAHSAN RANCANGAN UNDANG-UNDANGDI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
Dalam tingkatan pembahasan di DPR, setiap RUU (baik yang berasal dari Pemerintah, DPR,DPD) dibahas dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, khususnyanPasal 136, Pasal 137, dan Pasal 138.
Berdasarkan Pasal 136 Peraturan Tata Tertib DPR, pembahasan RUU dilakukan melalui dua tingkat pembicaraan, yaitu :
1.      Pembicaraan Tingkat I, yang dilakukan dalam Rapat Komisi, Rapat gabungan Komisi, rapat Gabungan Legislasi, Rapat Panitia Anggaran, atau Rapat Panitia Khusus bersama Pemerintah.
2.      Pembicaraan Tingkat II, yang dilakukan dalam Rapat Paripurna yaitu laporan hasil Pembicaraan Tingakat I, pendapart Fraksi, pendapat Presiden.
Setelah Pembicaraan Tingkat II selesai, RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden tersebut akan dikirimkan kepada Presiden untuk dimintakan pengesahan.
H.    PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG, PENGUNDANGAN, DAN PENYEBARLUASAN
a.            Menurut Undang-Undang No. 10 Th. 2004
Setelah menerima RUU yang telah disetujui DPR dan Presiden, Sekretariat Negara akan menuangkanya dalam kertas kepresidenandan kemudian dikirim ke Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang.
Pengesahan RUU yang telah disetujui bersama , dilakukan dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak RUU tersebut  disetujui bersama.
Setelah presiden mengesahkan RUU tersebut , maka Undang-Undang tersebut kemudian diundangkan oleh Mentri (yang tugas dan tanggung jawabnyadi bidang peraturanperundang-undangan), agar Undang-Undang tersebut dapat berlaku dan dapat berlaku dan  mengikat umum. Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Jika dalam masa 30 hari setelah RUU disetujui belum dtandatanagani oleh presiden, maka RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang, dan wajib diundangkan sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang No. 10 Th. 2004, dan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 Perubahan.
Setelah Undang-Undang tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Pemerintah wajib menyebarluaskan undang-undang yang telah diundangkan tersebut (Pasal 51 Undang-Undang No.10 Th. 2004).
b.            Menurut Peraturan Presiden No.1 Th. 2007
Pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan diatur juga dalam Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan, Peraturan Perundang-undangan.
Setelah RUU yang telah disetujui bersama maka sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007 Mentri Sekretariat Negara kemudian melakukan penyiapan naskah RUU untuk disahkan Presiden.
Naskah yang telah disampaikan ke Presiden kemudian disahkan  dengan membubuhakan tanda tangan, dalam jangka waktu 30 hari sejak disetujui. Setelah itu oleh Mentri Sekretaris Negara di berikan nomor dan tahun, dan selanjutnya disampaikan kepada Mentri (yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang peraturan perundang-undangan) untuk diundangkan. (Pasal 4 peraturan Presiden No. 1 Th. 2007).
Jika dalam masa 30 hari setelah disetujui Presiden tidak menandatangani RUU, maka RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan. Jika rancangan undang-undang tidak di sah kan oleh Presiden maka rumusan kalimat pengesahan tersebut berbunyi “Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Rumusan kalimat tersebut diletakkan pada halaman terakhir Undang-Undang.
I.       PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG SECARA RINGKAS
1.      Tahapan Perencanaan
Peraturan Presiden No. 61 Th 2005 tentang Tata Cara penyusunan dan Pengelolaan program Legislasi Nasional.
2.      Tahapan Penyiapan Rancangan Undang-Undang
RUU dari Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
3.      Tahap Pembahasan di DPR
Berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
4.      Tahap Pengesahan
Menurut Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan, Peraturan perundang-undangan.
5.      Tahap Pengundangan
Menurut Undang-Undang No. Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007 tentang Pengesahan, pengundangan, dan Penyebarluasan, Peraturan Perundang-undangan.


DAFTAR PUSTAKA
Syarif, Amipoeddin, S.H. Perundang Undangan, Dasar Jenis dan Teknik Membuatnya, Bima Aksara
Prof. Dr. m. Solly Lubis, S.H. Landhasan dan Teknik Perundang-Undangan, CV Mandar Maju, Bandung, 1989
Handoyo, B. Hestu Cipto, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2008
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H,  Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta, 2010
Soenino, S.H. Hukum Tata Negara Teknik Perundang-Undangan, Liberty, Yogyakarta, 1990