Selasa, 06 Desember 2011

Amar dan Nahy


A.     Pengertian dan Hakikat Amar
Menurut Ulama Ushul Fiqh, amar adalah suatu tuntutan atau perintah untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya[1].

B.      Sighat Amar dan Dilalahnya
Sighat yang digunakan untuk meminta sesuatu perbuatan agar dikerjakan, mencakupi :
1.       Bentuk fi’il amar
 “Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)

2.       Fi’il mudlari
(Ali ‘Imran : 104)
 “Dan janganlah kamu menyerupai orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.”
3.       Isim fi’il amar
(Al-Maidah : 105)
Wahai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah shalat (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah–jika kamu ragu-ragu: ” (Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa”.
4.       Mashdar pengganti fi’il
(Al-Baqarah : 83)
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): Kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya.
5.       Jumlah khabariyah / kalimat berita
(Al-Baqarah : 228)
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim
6.       Kata-kata yang mengandung makna suruh atau perintah, wajib, fardlu
6.1      kata
(an-Nisaa’ : 58)
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
6.2      kata
(Al Ahzab : 50)
6.3      kata
(Al-BAqarah : 183)
6.4      memberitahukan tentang adanya kewajiban dengan memakai kata ‘ala
(Ali Imran : 97)
6.5      jawab syarat
(Al-Baqarah : 196)

      Karena itu apabila Allah memerintahkan kepada hamba-hambanya untuk mengerjakan sesuatu perbuatan itu artinya menunjukkan kepada kewajiban mematuhi perintahNya. Kalau ia sudah mukallaf berarti mendapat pahala bila mengerjakan, namun mendapat siksa bila ia meninggalkannya.
Amar juga digunakan bagi makna yang lain yaitu untuk :
a.       Nadab, artinya menyuruh tanpa mewajibkan tetapi baik bila dikerjakan (sunat)
(An-Nur : 33)
b.      Irsyad, artinya memberi petunjuk atau bimbingan
(Al-Baqarah : 282)
c.       Takdib, artinya merujuk pada sopan santun
d.      Ibahah, artinya boleh dikerjakan atau tidak boleh dikerjakan
e.      Tahdid, artinya menghardik, mengancam
f.        Ikram, artinya memuliakan.
g.       Taskhir, artinya menghina, merendahkan derajat.
h.      Takjiz, artinya menunjukkan kelemahan yang diajak berbicara.
i.         Taswiyah, artinya menyamakan antara dikerjakan atau tidak dikerjakan.
j.        Tafwidl, artinya menyerahkan kepada pertimbangan sendiri.
k.       Takzib, artinya mendustakan
l.         Talhif, artinya membuat sedih dan merana
m.    Do’a, artinya memohon
n.      Iltimas, artinya sekedar permintaan biasa
o.      Imtinan, artinya menyatakan kenikmatan
p.      Takwin, artinya menciptakan
q.      Tamanni, artinya barangan-angan

C.      Kaidah-Kaidah yang  Berhubungan dengan Amar
Para Ushul Fiqh memberikan beberapa patokan dan ketentuan-ketentuan untuk menjadi pedoman dalam mengistimbathkan hokum.
1.       Perintah sesudah larangan
(Al-Jumu’ah : 10), sesudah firman Allah (Al-Jumu’ah : 9)
Bila larangan yang mendahului amar itu karena ada illat maka amar sesudahnya adalah untuk menghapuskan larangan itu karena illatnya sudah tidak ada lagi dan sekaligus mengembalikan hokum asli sebelum ada larangan yaitu ibadah. Bila larangan itu bukan karena illat yang sudah diketahui umum maka perintah sesudah larangan itu berarti menghapuskan hokum lama, artinya suruhan itu adalah keizinan berbuat tetapi tidak sampai wajib atau nadab.

2.       Perintah dan waktu mengerjakannya
Suruhan itu tidak harus segera dikerjakan dalam waktu yang cepat ataupun ditangguhkan. Semua itu dapat dipahami dengan adanya qarinah-qarinah yang lain. Adanya ajaran agar suatu kebaikan segera dilakukan, bukan ditarik dari perintah itu sendiri, tetapi dari dalil lain.
Menurut sebagian ulama, antara lain Abu al-Hasan al Karkhi, bahwa sesuatu perintah menunjukkan hokum wajib segera dilakukan. Menurut pendapat ini, barangsiapa yang tidak segera melakukan suatu perintah di awal waktunya, maka ia berdosa.
Contoh : (Al Hajj : 27)

3.       Perintah dan pengulangan mengerjakannya
Kalau perintah itu harus dikerjakan berulang-ulang maka harus ada qarinah yaitu kata-kata atau kalimat lain yang menyertakannya yang menunjuk kepada pengulangan. Ditinjau dari segi wajibnya berulang-ulang mengerjakan apa yang diperintahkan karena qarinah, dapat dikemukakan pendapat ulama, sebagai berikut :
a.       Perintah itu dihubungkan dengan syarat
(Al-Maidah : 6)
b.      Perintah itu dihubungkan dengan illat
(An-Nur : 2)
c.       Perintah itu dihubungkan dengan sifat atau keadaan yang berlaku sebagai illat
(Al-Isra’ : 78)
Dengan keterangan-keterangan di atas sebenarnya diwajibkan berulang-ulang mengerjakan perintah itu karena dihubungkan dengan sebab yang berulang-ulang pula. Inilah qarinah yang dikehendaki itu.
4.       Perintah dan perantaranya (wasilah)
Kadang-kadang ada perintah yang tag dapat terwujud tanpa adanya perbuatan-perbuatan lain yang mendahuluinya atau alat-alat tertentu untuk dapat melaksanakan perintah-perintah tersebut. Wasilah-wasilah itu bisa berupa :
a.       Syarat bersuci untuk sahnya shalat
b.      Adat kebiasaan

D.     Definisi dan Hakikat Nahy
Menurut ulama Ushul Fiqh, nahi adalah larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.[2]
E.      Penunjukan atau Tuntutan Nahy
Nahi menuntut untuk meninggalkan sesuatu perbuatan dengan kata yang didahului oleh kata larangan, yaitu : “la taf’ al”
Dalam Al Qur’an Nahi yang menggunakan kata larangan itu mengandung beberapa maksud :
a.       Haram
Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (Al-Isra’; 17; 33)
b.      Makruh Sabda Nabi
Di antara kamu sekalian jangan memegang kemaluannya dengan tangan  kanan ketika buang air kecil.
c.       Mendidik
Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, nisaya menyusahkan kamu. (Al-Maidah: 5: 101)
d.      Do’a
Ya Tuhan kami janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah Engkau memberi petunjuk kepada kami. (Ali ‘Imron: 3: 8)
e.      Merendahkan
Janganlah sekali-kali kamu menunjukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup ysng telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir). (Al-Hijr: 15: 88)
f.        Penjelasan akibat
Janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zhalim. (Ibrahim: 14: 42)
g.       Keputusan
Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. (Al-Tahrim: 66: 7)

F.        Kaidah-Kaidah yang Berhubungan dengan Nahy
Kaidah pertama, pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang itu kecuali ada indikasi yang menunjukkan hokum lain. Missal (Al-Jumu’ah : 9)
Larangan berjual beli dalam ayat tersebut menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh menunjukkan hokum makruh karena ada indikasi akan kekhawatiran akan melalaikan seseorang dari bersegera pergi shalat Jumat.
Kaidah kedua, suatu larangan menunjukkan fasad perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan. Larangan-larangan dalam hal-hal tersebut menunjukkan batalnya perbuatan-perbuatan itu bilamana tetap dilakukan. Ulama berbeda pendapat bilamana larangan itu tidak tertuju kepada esensi suatu perbuatan, tetapi kepada hal-hal yang berada di luarnya. Misalnya, larangan jual-beli waktu azan Jum’at dan larangan menyetubuhi istri yang sedang haid.
Kaidah ketiga, suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya. Missal Surat Luqman ayat 18 :
larangan tersebut mengajarkan agar berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan sopan.



DAFTAR PUSTAKA

Muchtar, Kamal. 1995. Ushul Fiqh jilid II. PT Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta.
Hanafie,A. 1962. Usul Fiqh.  Wijaya, Jakarta.
Rasyid, Marzuki.dkk. 1986. Ushul Fiqh II. Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Jakarta.
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Prenada Media, Jakarta.
Khalaf, Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Dina Utama, Semarang.


[1] Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.Zein,MA ,Ushul Fiqh hal.178
[2] Ibid., hlm.187

Tidak ada komentar:

Posting Komentar